Mengenai adat-istiadat suku bangsa Sunda sudah pernah diuraikan oleh beberapa orang budayawan seperti haji Hasan Moestapa, Dr. K.A.H. Hidding (1935) dengan bantuan Muhammad Ambri dan Raden Setjadibrata, kemudian oleh Akib Prawirasuganda (1951). Karya Haji Hasan Mustapa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Raden Memed Sastrahadiprawira, tidak sampai selesai karena beliau meninggal dunia, kemudian naskah terjemahannya diselesaiikan oleh R.A. Kern.
Di Jawa Tengah seperti Yogyakarta dan Solo terdapat pusat preservasi adat Jawa yaitu sekitar keraton, yang tidak hanya berfungsi secara fisik, melainkan berfungsi pula secara psikis, yaitu melindungi dan memelihara seluruh kekayaan seni budaya Jawa. Berbeda dengan di Jawa Barat, tidak terdapat pusat preservasi adat-istiadat Sunda atau Priangan, sehingga adat-istiadat Sunda relatif lebih terbuka terhadap unsur-unsur modernisasi pergeseran dan perubahan. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi. Singggungan dan bentturan terhadap pengaruh kebudayaan luar mengakibatkan antara lain suku Sunda cenderung lebih banyak menggunakan logikanya. Sementara itu cara—cara berrpikir tradisional yang banyak mengandung unsur religius-magis sedikit demi sedikit terkikis.
Gambaran tentang unsur-unsur adat itu terpantul pada bentuk-bentuk kesenian Sunda seperti seni sastra, tembang kecapi suling, tari, wayang golek, sandiwara, batik tulis serta tata-cara berpakaian. Lakon wayang umpamanya, tidak lagi utuh dipertunjukkan di depan umum sebagaimana asalnya, melainkan telah mendapat improvisasi Ki Dalang sesuai dengan masa dan masyarakat penikmatnya. Demikian juga dengan bentuk –bentuk seni lainnya telah mendapat pengembangan daya cipta berdasarkan imajinasi para seniannya tanpa beranjak dari akarnya sendiri. Penampilannya disesuaikan dengan lingkungan kondisi masyarakat penerimanya serta zamannya.
Warna Kasundaan: Kaya Nuansa
Ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dann kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 bandung, judul Kuwung-kuwung.
Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan karena penuh aneka warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa berahipun akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.
Cahayanya seputar alam: warna –warna kuning keemasan, paul atau ungu, hejo atau hijau, beureum atau merah, koneng atau kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir memenuhi ruang langit, lengkung taya aling—aling atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara ilmiah apabila yang menjadi dasar susunan warna alam Priangan. Jadi hampir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram atau kumal.
Dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari-hari:
Lawon sepre gandaria
Nu kayas kantun sakodi
teu malire nu satia
bet luas ngantunkeun abdi
Warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut).
Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih,, sehingga terjadilah warna: kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang biasa disebut gandola. terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog (A.Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut:
Kayas
Kasumba
Gandaria
Gandola
Paul
Nada warna warna kayas tergolong yang paling muda atau lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang tua atau berat. Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolik. Irama melankolik itu telah menjadi ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal dengan kecapi suling. Dari susunan nada yang lembut melankolik itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada warna lembut penuh dengan khayal.
Pola Hias
Selain nada warna yang terang dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias untukmengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam kinanti sebagai berikut:
Anggoanana aralus
Matak serab nu ningali
Sang Nalendra kahuripan
Ngagem Kaprabon lineuwih,
Dodotna buatan sebrang,
Dikembang parada rukmi
Beulitan giningsing kawung,
Surup lamun ditingali
Duhungna kadipatian
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah dalima,
Sarta mutiara manik
Cahya permata harurung
Tinggal ebyar adu manis
Lir cika-cika maruntang,
Sanggul geyot cara keling,
Dicangklek kancana mubyar
Ditarapang inten rukmi
Direka garuda mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang bodas
Mencenges di kanan keri
Kilat bahu atmaraksa,
Wuwuh surup Sang Narpati.
Sang Prabu Daha kacatur,
Salira tegep rasppati,,
Nganggo dodot sutra kembang
Diparada warna sari,
Sinjang kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit ditingali.
Kata-kata yang digarisbawahi ialah istilah-istilah yang mengandung pengertian ragam hias. sebagian kata-kata ragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis yang dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, para, garuda mungkur,, dan kembang bodas.
Ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dann kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 bandung, judul Kuwung-kuwung.
Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan karena penuh aneka warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa berahipun akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.
Cahayanya seputar alam: warna –warna kuning keemasan, paul atau ungu, hejo atau hijau, beureum atau merah, koneng atau kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir memenuhi ruang langit, lengkung taya aling—aling atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara ilmiah apabila yang menjadi dasar susunan warna alam Priangan. Jadi hampir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram atau kumal.
Dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari-hari:
Lawon sepre gandaria
Nu kayas kantun sakodi
teu malire nu satia
bet luas ngantunkeun abdi
Warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut).
Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih,, sehingga terjadilah warna: kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang biasa disebut gandola. terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog (A.Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut:
Kayas
Kasumba
Gandaria
Gandola
Paul
Nada warna warna kayas tergolong yang paling muda atau lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang tua atau berat. Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolik. Irama melankolik itu telah menjadi ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal dengan kecapi suling. Dari susunan nada yang lembut melankolik itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada warna lembut penuh dengan khayal.
Pola Hias
Selain nada warna yang terang dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias untukmengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam kinanti sebagai berikut:
Anggoanana aralus
Matak serab nu ningali
Sang Nalendra kahuripan
Ngagem Kaprabon lineuwih,
Dodotna buatan sebrang,
Dikembang parada rukmi
Beulitan giningsing kawung,
Surup lamun ditingali
Duhungna kadipatian
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah dalima,
Sarta mutiara manik
Cahya permata harurung
Tinggal ebyar adu manis
Lir cika-cika maruntang,
Sanggul geyot cara keling,
Dicangklek kancana mubyar
Ditarapang inten rukmi
Direka garuda mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang bodas
Mencenges di kanan keri
Kilat bahu atmaraksa,
Wuwuh surup Sang Narpati.
Sang Prabu Daha kacatur,
Salira tegep rasppati,,
Nganggo dodot sutra kembang
Diparada warna sari,
Sinjang kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit ditingali.
Kata-kata yang digarisbawahi ialah istilah-istilah yang mengandung pengertian ragam hias. sebagian kata-kata ragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis yang dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, para, garuda mungkur,, dan kembang bodas.
Susunan Warna Kasundaan menurut Nuansa Warna
1) Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning:
beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay
2) Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau:
hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bulao
3) Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu:
bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oa: dawuk, hawuk, kulawu, pulas lebu
(oa adalah sebangsa primata / monyet berbulu warna abu-abu)
1) Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning:
beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay
2) Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau:
hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bulao
3) Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu:
bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oa: dawuk, hawuk, kulawu, pulas lebu
(oa adalah sebangsa primata / monyet berbulu warna abu-abu)
Sumber :
1. Internet
2. Buku Panduan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar