Dari masa ke masa, dalam kurun waktu satu abad terakhir, seni batik selalu berkembang dalam keragaman yang artistik. Dalam perkembangannya terdapat perubahan yang sangat berharga untuk dihayati dan dikaji.
Banyak penulis, baik dari Indonesia maupun mancanegara, yang membahas benturan dan pergeseran budaya seputar seni kriya batik. Problematikanya sangat menarik dan unik, terutama yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tidak terdapat pada kelompok masyarakay lain di dunia, hanya terdapat di Indonesia.
Pergeseran dan tumpang tindih budaya batik antara lain dituangkan oleh Drs. H. Hasanudin, M.Sn., dalam tesisnya “Pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran” (Pascasarjana ITB, 1996) antara lain menggarisbawahi bahwa:
Dalam proses perkembangan antara batik Belanda, batik China, batik Wong Kaji, batik Wong Cilik dan Batik Klasik saling mempengaruhi dan melengkapi pada susunan corak, ragam hias, dan warna.
Jika mengkaji budaya batik dari segi simbolisasi, dapat dilakukan dari 4 (empat) pendekatan:
a. Simbolisasi warna (pendekatan estetika warna dan teknologi).
b. Simbolisasi ragam hias (pattern) termasuk mitor-mitosnya (pendekatan adat mitos dan lattar foilosofinya).
c. Simbolisasi dari bahan kainnya (pendekatan teknologi kenyamanan dan estetika bahan kain).
d. Simbolisasi pemakaian kain batik (pendekatan sosiologi antropologi kekuasaan dan adat).
Pendekatan kekuasaan bukan merupakan cara pendekatan yang baru, karena seorang antropolog Amerika, Mattiebelle Gittinger (1979) menulis tentang tekstil Indonesia dengan judul “Splendid Symbols”. Seni kriya batik selin sebagai benda seni, mengandung pula manik-manik simbol atau perlambangan. Joseph Fischer, seorang kurator seni, mengantar pameran tektil Indonesia pada tahun 1978, melalui buku indah yang ditulisnya berjudul “Threads of Tradition”. Pamerannya diselenggarakan di kota Berkeley, University Art Museum, Amerika Serikat. Khasanah seni batik Indonesia, dikumpulkan dalam tiga buku oleh kolektor seni tekstil tradisional H. Nian Djoemena (1985). M. Hitchkock (1991) dan Pepin Van Roojen (1993) menulis buku tentang tekstil dan seni batik Indonesia, dua buku yang berharga untuk dikaji.
Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia “dibungkus” dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang berperan adalah ibu. Oleh karena itu kriya batik merupakan “seni kriya kewanitaan”. Proses pembatikan, sejak dikemplong, ditulis hingga dilorod, dan diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita.
Selain unsur simbolis yang pekat pada seni batik, unsur yang kuat lainnya adalah proses pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan teknologi bahan dan proses. Untuk memahami proses seni kriya batik tradisional di Indonesia, berikut ini dituliskan hasil penelitian lapangan tentang seni kriya batik di Tuban (Jawa Tengah) dan Garut (Sunda, Jawa Barat).
sumber :
1. Internet
2. Buku Panduan
Banyak penulis, baik dari Indonesia maupun mancanegara, yang membahas benturan dan pergeseran budaya seputar seni kriya batik. Problematikanya sangat menarik dan unik, terutama yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tidak terdapat pada kelompok masyarakay lain di dunia, hanya terdapat di Indonesia.
Pergeseran dan tumpang tindih budaya batik antara lain dituangkan oleh Drs. H. Hasanudin, M.Sn., dalam tesisnya “Pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran” (Pascasarjana ITB, 1996) antara lain menggarisbawahi bahwa:
Dalam proses perkembangan antara batik Belanda, batik China, batik Wong Kaji, batik Wong Cilik dan Batik Klasik saling mempengaruhi dan melengkapi pada susunan corak, ragam hias, dan warna.
Jika mengkaji budaya batik dari segi simbolisasi, dapat dilakukan dari 4 (empat) pendekatan:
a. Simbolisasi warna (pendekatan estetika warna dan teknologi).
b. Simbolisasi ragam hias (pattern) termasuk mitor-mitosnya (pendekatan adat mitos dan lattar foilosofinya).
c. Simbolisasi dari bahan kainnya (pendekatan teknologi kenyamanan dan estetika bahan kain).
d. Simbolisasi pemakaian kain batik (pendekatan sosiologi antropologi kekuasaan dan adat).
Pendekatan kekuasaan bukan merupakan cara pendekatan yang baru, karena seorang antropolog Amerika, Mattiebelle Gittinger (1979) menulis tentang tekstil Indonesia dengan judul “Splendid Symbols”. Seni kriya batik selin sebagai benda seni, mengandung pula manik-manik simbol atau perlambangan. Joseph Fischer, seorang kurator seni, mengantar pameran tektil Indonesia pada tahun 1978, melalui buku indah yang ditulisnya berjudul “Threads of Tradition”. Pamerannya diselenggarakan di kota Berkeley, University Art Museum, Amerika Serikat. Khasanah seni batik Indonesia, dikumpulkan dalam tiga buku oleh kolektor seni tekstil tradisional H. Nian Djoemena (1985). M. Hitchkock (1991) dan Pepin Van Roojen (1993) menulis buku tentang tekstil dan seni batik Indonesia, dua buku yang berharga untuk dikaji.
Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia “dibungkus” dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang berperan adalah ibu. Oleh karena itu kriya batik merupakan “seni kriya kewanitaan”. Proses pembatikan, sejak dikemplong, ditulis hingga dilorod, dan diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita.
Selain unsur simbolis yang pekat pada seni batik, unsur yang kuat lainnya adalah proses pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan teknologi bahan dan proses. Untuk memahami proses seni kriya batik tradisional di Indonesia, berikut ini dituliskan hasil penelitian lapangan tentang seni kriya batik di Tuban (Jawa Tengah) dan Garut (Sunda, Jawa Barat).
sumber :
1. Internet
2. Buku Panduan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar